Pelacuran tidak
hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak
perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa
kali melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol
ibukota dan mengirimnya ke panti-panti sosial seperti Cipayung dan Kedoya,
tetapi hal ini tidak membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya makin
bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena
keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada
pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan
anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur. Selain itu
Pemerintah kurang serius menangani masalah pelacuran ini, terbukti razia-razia
yang bertujuan untuk mengurangi pelacuran itu tidak berhasil.
Walaupun pelacur,
mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini anggapan
masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas atau pelayan
seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih diperparah lagi dengan
mitos keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat.
Mereka yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan
kesempatan kerja yang kecil banyak yang akan lari ke dunia pelacuran. Kita
tidak bisa menyalahkan mereka para pelacur itu karena sistem di Indonesia
justru membuat perempuan terjebak dalam kepelacuran itu sendiri.
Walaupun di
Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik prostitusi, ada
beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas
seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks
komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian
lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan
bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat
pribadi atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Definisi ini
sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini
seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi
manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang
dianggap “menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang
“bermoral” dan “beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah
prostitusi. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah
pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma
prostitusi sebagai “perbuatan asosial” kepada “kesenangan seksual” (sexual
pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena berkaitan
dengan “kesenangan seksual” yang menjadi hak asasi seseorang.
Berbagai upaya
telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak
dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan
kehidupan manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang
menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para
pelaku prostitusi itu dan berupaya untuk menghilangkannya. “Upaya seperti itu
adalah tidak mungkin, naif dan ‘absurd’. Namun bukan berarti dengan begitu kita
semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita.
Pandangan bahwa
prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu
penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak
mungkin pula untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak
terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara
sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Prostitusi
adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik
serta moral dan agama. Upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan
moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.
Diibaratkan,
seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang kehausan. Pemerintah
bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial,
budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian
serta menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu
dapat menekan dan meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat
luas dengan tidak selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab
prostitusi padahal lelaki yang banyak memanfaatkannya.
“Sebaiknya tidak
perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada seseorang
dipersalahkan karena aktivitas tersebut.” Dan ini menjadi tidak adil dalam
konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah
kesenangan seksual. Pandangan itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila
dilontarkan di Indonesia karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti
itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara
hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap
saja marak di kota-kota besar di Indonesia.
Di tengah
masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi
melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini
ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat
terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang
menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor
kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan
dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa
yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan
kelangsungan hidupnya, termasuk MELACUR.
Saran saya
Apa pun bentuknya, dalam
prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan
manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita
menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang
berperikemanusiaan.
Janganlah kita melihat, menilai,
apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia
lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan
Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang
dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi
dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat banyak.