Rabu, 28 Maret 2012

PROSTITUTION

Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibukota dan mengirimnya ke panti-panti sosial seperti Cipayung dan Kedoya, tetapi hal ini tidak membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya makin bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur. Selain itu Pemerintah kurang serius menangani masalah pelacuran ini, terbukti razia-razia yang bertujuan untuk mengurangi pelacuran itu tidak berhasil.
Walaupun pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas atau pelayan seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mitos keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat. Mereka yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan kerja yang kecil banyak yang akan lari ke dunia pelacuran. Kita tidak bisa menyalahkan mereka para pelacur itu karena sistem di Indonesia justru membuat perempuan terjebak dalam kepelacuran itu sendiri.
Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap “menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang “bermoral” dan “beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah prostitusi. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan asosial” kepada “kesenangan seksual” (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena berkaitan dengan “kesenangan seksual” yang menjadi hak asasi seseorang.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan berupaya untuk menghilangkannya. “Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan ‘absurd’. Namun bukan berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita.
Pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama. Upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.
Diibaratkan, seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang kehausan. Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang banyak memanfaatkannya.
“Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut.” Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual. Pandangan itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia.
Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk MELACUR.
 Saran saya
Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan.
Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat banyak.

Kamis, 22 Maret 2012

Transgender

Sapphic, transgender, inverted, homoerotic, transsexual, queer – there are so many terms to consider when talking about homosexuality. Knowing what to use when and how can be confusing for the gay and straight alike.
“Transgender” and “transexual” are two terms that have been used interchangeably by heterosexuals and by unknowing members of the gay community.
“People consider ‘transgender’ and ‘transsexual’ interchangeable because people often use the words interchangeably,” says Sarah Wilcox, an assistant professor of sociology at Kent State. “The difference between them is subtle.”
Wilcox defines a transexual (also spelled “transsexual”) as “someone who identifies as male or female but whose gender identity conflicts with their biological sex – that is, they were born male or have XY chromosomes, but experience themselves as female.”
Wilcox explains that “transexual” is a more restrictive term that describes people who sometimes get medical treatment – for example, hormones or surgery to “align their internal gender identity with their physical self.”
The term “transgender,” though, applies to a wider range of gender alignment issues.
 “Transgender refers to the spectrum of gender ambiguity – the various ways in which our gendered behavior, activities, dress and identities do not match up neatly with the assumption that there are two biological categories – ‘male’ and ‘female,’” Wilcox says.
She says ‘transgender’ is a broader term that can include transexuals, cross-dressers, people who are intersexed (who have some of the biological characteristics of both sexes) and “anyone from across a spectrum of gender ambiguity or non-conformity.”
 Wilcox explains that the two terms cannot be used interchangeably as most people use them. While ‘transexual’ is a medical term developed by psychiatrists and psychologists, ‘transgender’ describes a social movement.
“(Transgendered) is the political component – working to create a world where greater fluidity of gender expression is welcomed and valued,” Wilcox says.
Either way, both terms describe a section of the sexual minority population seeking only to feel comfortable in their own skin.
“Some people have a strong, internal, deeply felt sense of themselves as being either male or female, while some people feel themselves to be something other than or in between entirely male or female,” Wilcox explains. “Having both words allows people to express both kinds of identities.”

Kamis, 01 Maret 2012

COMMUNITY MASUDIROMO

Masudiromo is a name of the community / farmer group associations. Founded in 2008, which is headed by  Sriyono in the area where I live precisely in the area Purwodadi. The first time was founded the member must have a minimum of 25 members, now has reached 50 members is more.
I got the information about the community named Masudiromo is from my own father, because other than my dad was a farmer, my father was also a member of the group.
In the community, are held once a month gathering at the village hall, sometimes in the house chairman of the group. In society, visited by agricultural experts, agriculture minister, to deliver / provide guidance and knowledge about the problems being faced by agriculture (extension). For example as a way to eradicate pests which are difficult to be destroyed, the selection of seeds, cultivate the soil so fertile, so do (five farms) and so on. All that is given to farmers to increase crop yields. In addition to their knowledge of the extension, farmers also shared their experiences with the agricultural problems of the group members.
In the community often receive assistance, such as seeds, fertilizers, which can directly benefit the members of the group. Especially now in my area for sale of fertilizer through the farmer groups. So the member can simply book a fertilizer, and delicious again buy fertilizers not have to pay first, so pay it when it's harvest time (could owe first). The community also held cash, to pay any existing association. Cash is for who members want to back up the debt, to buy fertilizer at the community.
Why I am interested in Masudiromo community, because I have goals that I want to have an intimate knowledge of agriculture, because apart from me being a teacher someday, I also want to have a side job is as a farmer, I do not want to wetland given the I am old, I do not use as much as you. My parents can be successful why can not I?? Not to be outdone lahh ...